Rabu, 10 Oktober 2012

Memilih dan Memilah Prinsip Pembelajaran IPA SD yang Berprinsip pada Pendekatan Konstruktivisme



1.    Pengertian Pendekatan Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Konstruktivistik merupakan landasan filosofi yang meyakini bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta konsep atau kaidah yang siap untuk diambi dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata (Nurhadi, 2002:10-11). Sedangkan Suparno (1997:28) mengatakan konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai.  

Dua tokoh konstruktivis adalah Piaget dan Vygotsky. Piaget yang dikenal dengan konstruktivis radikal, sedangkan Vygotsky dikenal dengan konstruktivisme sosial. Menurut Piaget (dalam dahar 1988:181), perkembangan intelektual anak didaarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Model konstruktivis Piaget dalam mengajar, hendaknya memperhatikan 8 hal berikut :
1.      Siapkanlah benda-benda nyata yang digunakan siswa
2.      Pilihlah pedekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak
3.      Perkenalkan kegiatan yang layak dan menarik dan berilah para siswa untuk menolak saran-saran guru
4.      Tekankan penciptaan pertanyaan-pertanyaan dan massalah-masalah seta pemecahannya.
5.      Anjurkan para siswa untuk saling berinteraksi
6.      Hindari istlah-istilah teknis dan berfikir
7.      Anjurkan para siswa berfikir dengan cara mereka sendiri
8.      Perkenalkan ulang materi dan kegiatan yang sama dalam beberapa tahun.
Implikasi teori Piaget dalam pembelajaran
1.      Memusatkan perhatian pada proses berfikir anak, bukan sekedar pada hasil
2.      Menekankan pada pentingnya peranan siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan secara aktif dalam pembelajaran
3.      Memaklumi adaya perbedaan individual dalam kemajuan perkembangan.
Sedangkan teori Vygotsky menekankan pada hakikat sosiokultural dari pembelajaran yaitu siswa belajar menangani tugas-tugas yang dipelajari melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman dewasa. Implementasi teori Vygotsky dalam pembelajaran:
1.      Pembelajaran kooperatif antar siswa tertata dengan baik
2.      Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menerapkan scafolding yaitu pemberian sejumlah besar bantuan pada siswa pada awal bantuan pembelajarn, kemudian siswa mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya.
3.      Memaklumi adanya perbedaan perbedaan individu dalam hal kemajuan pemahaman.

Konstruktivisme bukanlah satu konsep baru. Ia berasal daripada bidang falsafah dan telah digunakan dalam bidang sosiologi dan antropologi dan juga dalam bidang psikologi kognitif dan pendidikan. Pada tahun 1710, ahli falsafah konstruktivis yang pertama, yaitu Giambatista Vico, mengatakan … “one only knows something if one can explain it” (Yager, 1999).
Pembelajaran bermakna (meaningful learning), mengikut John Dewey (1966), melibatkan “belajar dengan membuat” (learning by doing), yang kemudiannya dapat membantu pelajar berfikir dan membentuk kefahaman tentang masalah yang cuba dihuraikan. Dewey mempelopori gerakan “progresivisme” dalam pendidikan. Dalam keadaan yang sama, kita menyaksikan Jean Piaget (1951) lebih awal mengutarakan tentang perkembangan kognitif dalam karya terjemahan, “Play, Dreams and Imitation in Childhood” dan Vygotsky (1978) dalam “Mind in Society” yang dikaitkan dengan perspektif konstruktivisme dalam perkembangan minda kanak-kanak. Sejak satu setengah dekad yang lampau, di Amerika Serikat pengajaran dan buku teks telah diolah agar lebih menjurus kepada penggalakan proses berfikir, menyelesaikan masalah dan membina keupayaan untuk belajar. Inilah gerakan konstruktivisme yang sudah dilaksanakan di Amerika Syarikat, yang juga mengambil kira pemikiran Dewey dan Bruner. Dalam konteks tempatan, kita menyaksikan gerakan ini sudah bermula dalam pembelajaran sains dan matematik yang cuba menyemarakkan perspektif konstruktivisme.
Pendekatan konstruktivisme memiliki beberapa konsep umum, antara lain:
1.      Pelajar aktif membina pengetahuan berdasarkan pengalaman yang sudah ada.
2.      Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3.      Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4.      Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5.      Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6.      Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.

Konsttruktivisme mempunyai lima fase, yaitu:
1.      Guru menerka pengetahuan sedia ada murid pada permulaan sesuatu pelajaran melalui soal jawab atau ujian.
2.      Guru menguji ide atau pendirian murid melalui aktivitas yang menjabar ide atau pendiriannya.
3.      Guru membimbing murid menstruktur semula ide.
4.      Guru memberi peluang kepada murid mengaplikasikan ide baru yang telah diperoleh untuk menguji kebenarannya.
5.      Guru membimbing murid membuat refleksi dan perbandingan ide lama dengan ide yang baru diperoleh.

Menurut paradigma baru pendidikan peran guru harus diubah, yaitu tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi harus mampu menjadi mediator dan fasilitator.
Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut:
1.    Menyediakan pengalaman belajar yang memeungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu memberi ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
2.    Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka (Watt & Pope, 1989).
3.    Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. (Suparno, 1997).

Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar.
1.        Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.
2.        Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat.
3.        Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar.
4.        Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.
5.        Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru. (Suparno, 1997).

2.    Pembelajaran dan Pengajaran Konstruktivisme
Pembelajaran dan pengajaran menggunakan pendekatan konstruktivisme boleh dilaksanakan dengan memberikan perhatian kepada perkara-perkara berikut:
         Memberi peluang kepada pelajar mengemukakan pandangan tentang sesuatu konsep.
         Memberi peluang kepada pelajar berkongsi persepsi antara satu sama lain.
         Menggalakkan pelajar menghormati pandangan alternatif rakan mereka.
         Menghormati semua pandangan pelajar dan tidak memandang rendah terhadap pandangan mereka.
         Melaksanakan pengajaran berpusatkan pelajar.
         Menyediakan aktiviti-akativiti berbentuk “hands on” dan “minds on”.
         Mementingkan kemahiran saintifik dan kemahiran berfikir di kalangan pelajar.
         Menggalakkan pelajar merenung kembali proses pembelajaran yang dilaluinya.
         Meminta pelajar menghubungkait idea asal dengan idea yang baru dibina.
         Menggalakkan pelajar mengemukakan hipotesis.
         Tidak menyampaikan maklumat secara terus kepada pelajar.
         Memberi peluang pelajar berinteraksi dengan guru dan peljar-pelajar lain.
         Memberi perhatian kepada keperluan, kebolehan dan minat pelajar.
         Menggalakkan pelajar bekerja dalam kumpulan.
(Ramlah & Mahani, 2002)

3.    Prinsip-prinsip pembelajaran Konstruktivisme
Prinsip-prinsip kontruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil adalah:
(1)     pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial,
(2)     pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar,
(3)     murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah,
(4)     guru sekadar membantu penyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno, 1997).

4.    Prinsip-prinsip pembelajaran IPA SD
      Prinsip-prinsip dalam pembelajaran IPA SD adalah:
Prinsip 1: Pemahaman kita tentang dunia di sekitar kita di mulai melalui pengalaman baik secara inderawi maupun noninderawi. Karena itu, siswa perlu diberi kesempatan memperoleh pengalaman itu. Para siswa perlu dibuat agar aktif melakukan sesuatu agar memperoleh pengalaman.
Prinsip 2: Pengetahuan yang diperoleh ini tidak pernah terlihat secara langsung, karena itu perlu diungkap selama proses pembelajaran. Pengetahuan siswa yang diperoleh dari pengalaman itu perlu diungkap di setiap awal pembelajaran.
Prinsip 3:   Pengetahuan pengalaman mereka ini pada umumnya kurang konsisten dengan pengetahuan para ilmuwan, pengetahuan yang Anda miliki. Pengetahuan yang demikian Anda sebut miskonsepsi. Anda perlu merancang kegiatan yang dapat membetulkan miskonsepsi ini selama pembelajaran.
Prinsip 4: Dalam setiap pengetahuan mengandung fakta, data, konsep, lambang, dan relasi dengan konsep yang lain. Tugas Anda sebagai guru IPA adalah mengajak siswa untuk mengelompokkan pengetahuan yang sedang dipelajari itu ke dalam fakta, data, konsep, symbol, dan hubungan dengan konsep yang lain.
Prinsip 5: IPA terdiri atas produk, proses, dan prosedur. Karena itu, Anda perlu mengenalkan ketiga aspek ini walaupun hingga kini masih banyak guru yang lebih senang menekankan pada produk IPA saja. Namun, perlu diingat bahwa perkembangan IPA sangat pesat. Kita tidak mampu mengikuti secara terus-menerus perkembangan itu setiap saat. Dan, kalaupun mampu, menajdi pertanyaan besar adalah apakah semuanya disampaikan kepada siswa. Oleh karena itu, akan lebih baik jika siswa dibekali dengan keterampilan menemukan pengetahuan, yaitu: proses dan prosedur IPA. Proses menyangkut kegiatan penelitian. Sedangkan prosedur menyangkut metode ilmiah yang digunakan dalam kegiatan penelitian.
5.    Belajar IPA dalam paradigma konstruktivisme
Dalam paradigma absolutisme, siswa dianggap tidak memiliki pengetahuan apa pun ketika berada di awal proses pembelajaran. Ibarat sebuah botol kosong. Sebaliknya, dalam paradigma konstruktivisme, siswa diakui telah memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki sebelum mengikuti proses kegiatan pembelajaran yang sesungguhnya sering diberi label pengetahun awal siswa. Pengetahuan awal ini diperolehnya dari sumber-sumber belajar yang tersedia di luar bangku sekolah atau dari pembelajaran sebelumnya. Seperti juga Anda saat ini, Anda telah memiliki pengetahuan pembelajaran IPA. Pengetahuan itu Anda peroleh dari berbagai sumber, termasuk ketika Anda kuliah di program yang lain. Pendek kata, Anda tidak berawal sebagai botol kosong. Anda telah memiliki konsepsi awal tentang pembelajaran IPA.

Temuan umum penelitian dengan perspektif concept learning dapat dirangkum sebagai berikut. Setiap siswa datang ke pelajaran formal dengan membawa konsepsinya sendiri tentang fenomena alam. Konsepsi ini, pada umumnya berbeda dengan konsepsi ilmuwan. Konsepsi semacam ini ternyata tersebar merata menurut usia, kemampuan, gender, dan bahkan lintas budaya. Konsepsi semacam ini mirip dengan penjelasan para ilmuwan masa lampau. Konsepsi yang berakar pada pengalaman pribadi siswa dapat dikatakan sebagai endapan dari pergaulan sehari-hari termasuk pengajaran sebelumnya. Konsepsi yang dibangun siswa sebelum mengikuti pembelajaran dapat dikatakan sebagai pengetahuan awal para siswa tentang fenomena atau kejadian yang akan dipelajari.
Pengetahuan yang telah dimiliki siswa mengarahkan perhatiannya pada satu atau dua hal tertentu dari seluruh materi yang sedang dipelajari. Dengan demikian, pengetahuan siswa ini menjadi semacam ‘penyaring’ tentang hal-hal yang harus dipelajari. Selain sebagai penyaring, pengetahuan yang telah dimiliki juga menentukan bangunan pengetahuan yang baru dikonstruksi. Pengetahuan Anda tentang pembelajaran IPA dalam mempelajari sajian buku ini menjadi ‘filter’ untuk menyaring pengetahuan yang dipelajari dan menjadi salah satu faktor yang kuat dalam mengkonstruksi pengetahuan baru yang siswa miliki.
Proses belajar siswa sesungguhnya mirip dengan yang dilakukan para ilmuwan IPA, yaitu melalui pengamatan dan percobaan. Penelitian IPA adalah penelitian empiris. Siswa Sekolah dasar juga belajar IPA melalui investigasi yang mereka lakukan sendiri. Jika pengalamannya tidak memadai, maka pemahamannya juga tidap lengkap. Investigasi merupakan cara normal bagi siswa yang belajar.

Demikian juga, proses mengajar dalam paradigma konstruktivisme, siswa, seperti anak yang sedang belajar menaikkan layang-layang, aktif mencari pengetahuan (IPA) didampingi guru sebagai fasilitator yang juga aktif. Mereka secara bersama-sama terlibat aktif dalam dialog mencari ’kebenaran’ IPA. Mengajar berarti memberdayakan, mengajar untuk belajar.
Walaupun penerapan tradisi konstruktivis itu berbeda-beda, namun ada hal-hal yang sama. Ishii (2003) menyajikan kesimpulan Ernest tentang implikasi pedagogis dari tradisi konstruktivisme, yaitu:
1.      Peka dan perhatian terhadap pengetahuan awal siswa yang dibawa sebelum mengikuti pelajaran formal
2.      Penggunaan konflik kognitif untuk meremidi miskonsepsi. Tampak seperti membiarkan siswa mengalami kebingungan dalam berpikir, dan dari sana mereka akan menngembangan pemahamannya sendiri, atau paling tidak mencari jalan ke luar dari kebingungan.
3.      Perhatian terhadap ketakognisi dan strtegi self-regulation. Ini merupakan kosekuensi dari mengalami konflik kognitif siswa muali berpikir tentang cara berpikir yang digunakannya, dan menjadi bertanggung jawab atas belajar mereka sendiri.
4.      Penggunaan berbagai macam representasi. Berbagai macam representasi mengahasilkan banyak ‘lorong’ menuju pengetahuan awal siswa.
5.      Kesadaran bahwa tujuan siswa belajar itu penting. Di kelas bukan tujuan guru tetapi tujuan siswa, mereka ingin mengetahui dan tahu manfaatnya.
6.      Kesadaran akan konteks sosial. Berbagai jenis pengetahuan muncul dalam berbagai macam kelompok sosial.

Ishii (2003) menawarkan ‘five guiding principles of constructivism’ yang dapat diterapkan di kelas.
1.      Posing problems of emerging relevance to students Dengan fokus pada minat siswa dan pengetahuan awal sebagai titik awal, siswa menjadi mudah terlibat dan termotivasi untuk belajar. Pertanyaan-pertanyan yang relevan diberikan kepada siswa untuk mendorong mereka berpikir dan mempertanyakan apa yang dipikirkan itu.
2.      Structuring learning around primary concepts Ini merujuk pada perancangan pelajaran di sekeliling ide atau konsep utama, daripada menyajikan berbagai topik yang terpisah-pisah satu dengan yang lainnya. Menggunakan konsep yang lebar memungkinkn siswa terlibat dari berbagai perspektif dan kemampuannya.
3.      Seeking and valuing students' points of view Prinsip ini memberi kesempatan mengakses penalaran siswa dan proses berpikirnya. Dengan cara itu, guru dapat menyusup lebih dalam agar belajar menjadi lebih bearti bagi siswa. Tentu saja Anda sebagai guru harus siap menjadi pendengar yang baik terlebih dahulu.
4.      Adapting curriculum to address students' suppositions
Adapatasi kurikulum untuk menghargai gagasan siswa merupakan fungsi dari kebutuhan kognitif pada tugas-tugas spesifik dan hakikat pertanyaan siswa yang terlibat pada tugas tersebut.
5.      Assessing student learning in the context of teaching Dalam pengajaran tradisional, konteks belajar sering tidak berhubungan dengan assessment (penilaian). Assessmentyang autentik mestinya dapat dicapai melalui pengajaran, interaksi antara guru dan siswa siswa dengan siswa, serta pengamatan tentang tugas-tugas yang dilaksanakan siswa.

6.    Model Pembelajaran yang Sesuai dengan Prinsip Konstruktivisme
Pembelajaran Koperatif
Vygotsky (1896-1943) menjelaskan pembelajaran koperatif sebagai “… group learningactivity organized on the socially structured exchange of information between learners in group and in which each learner is held accountable for his or her own learning and is motivated to increase the learning of others.”
Koperatif berarti bekerja bersama untuk mencapai tujuanbersama. Pembelajaran koperatif pula ialah penggunaan kumpulan-kumpulan kecil dalam pengajaran supaya pelajar bekerja bersama-sama bagi memaksimumkan pembelajaran sendiri dan juga rakan-rakan lain. Dalam kumpulan pembelajaran koperatif, pelajar diberikan dua tanggung jawab, yaitu mempelajari bahan yang diberikan dan memastikan ahli-ahli kumpulan juga mempelajari bahan tersebut. Oleh yang demikian, seseorang pelajar itu berusaha mencapai faedah
bagi dirinya dan juga ahli kumpulannya. Persepsi pelajar dalam pembelajaran koperatif ialah mereka hanya akan dapat mencapai matlamat pembelajarannya, sekiranya ahli-ahli kumpulan belajar bersama. Mereka berbincang dan saling membantu antara satu sama lain untuk memahami dan saling menggalak supaya bekerja bersungguhsungguh Aktiviti pembelajaran berlaku dalam kumpulan heterogenus, iaitu tidak sama dari segi kebolehan, minat, bangsa dan agama (Slavin, 1991).
Pembelajaran koperatif biasanya berlaku dalam kumpulan di mana terdapat pelajar cerdas dan lambat. Dalam aktivitas pembelajaran, pelajar cerdas dikehendaki membantu pelajar lambat secara bersungguh-sungguh, kerana markah yang diperoleh oleh setiap individu dalam kumpulan akan menjadi markah kumpulan. Semangat bekerjasama menjadi semakin tinggi apabila kumpulan ini dikehendaki bertanding
dengan kumpulan lain. Kaedah pembelajaran ini menggunakan idea “scaffolding” dalam teori perkembangan kognitif Vygotsky, di mana pelajar yang cerdas akan membimbing pelajar lambat dalam zon perkembangan proksimal.
Dalam pembelajaran kooperatif, pelajar dibahagi-bahagikan kepada kumpulan kecil, di mana setiap kumpulan ditetapkan objektif pencapaiannya. Pembelajaran distrukturkan di mana objektif kumpulan hanya boleh tercapai jika semua ahli kumpulan dapat menyempurnakan tugas yang telah diarahkan guru. Gred akhir pelajar diperoleh dengan mengambil kira skor individu-individu dalam kumpulan.

Unsur-unsur kumpulan pembelajaran koperatif adalah seperti berikut:
1.      Interaksi bersemuka (face-to- face interaction).
2.      Saling pergantungan positif.
3.      Bertanggungjawab kepada pembelajaran sendiri.
4.      Kemahiran koloboratif perlu supaya ahli-ahli kumpulan dapat berfungsi dengan baik.
5.      Memastikan setiap ahli memahami proses kumpulan dan mempelajari dinamika kumpulan.
            Menurut Johnson & Johnson (1995:22-23), terdapat lima unsur penting dalam belajar kooperatif, yaitu sebagai berikut ini:
1.      Saling ketergantungan yang bersifat positif antarsiswa. Dalam belajar kooperatif siswa merasa bahwa mereka bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan dan terikat satu sama lain. Seorang siswa tidak akan sukses kecuali semua anggota kelompoknya juga sukses. Siswa akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok yang juga mempunyai andil terhadap suksesnya kelompok.
2.      Interaksi siswa yang semakin meningkat. Belajar kooperatif akan meningkatkan interaksi antarsiswa. Hal ini, terjadi dalam hal seorang siswa akan mebantu siswa lain untuk sukses sebagai anggota kelompok. Saling memberi bantuan ini akan berlangsung secara alamiah karena kegagalan seseorang dalam kelompok mempengaruhi suksesnya kelompok. Untuk mengatasi masalah ini, siswa membutuhkan bantuan akan mendapat dari teman sekelompoknya. Interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif adalah dalam hal tukar menukar ide mengenai masalah yang sedang dipelajari bersama.
3.      Tanggung jawab individual. Tanggung jawab individual dalam kelompok dapat berupa tanggung jawab siswa dalam hal membentu siswa yang membutuhkan bantuan dan bahwa siswa tidak hanya sekedar “membonceng” pada hasil kerja teman sekelompoknya
4.      Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil. Dalam belajar kooperatif, selain dituntut untuk mempelajari materi yang diberikan, seorang siswa juga dituntut belajar bagaimana berinteraksi dengan kelompok lain dalam kelompoknya. . Bagaimana siswa bersikap sebagai  anggota kelompok dan menyampaikan idemkelompok akan menuntut keterampilan khusus.
5.      Proses kelompok. Belajar  kooperatif atidak akan berlangsung tanpa proses kelompok. Proses kelompok terjadi jika anggota kelompok mendiskusikan bagaimana mereka akan mencapai tujuan dengan baik dan membuat hubungan kerja yang baik.
Konsep utama dari belajar kooperatif menurut Slavin (1995:5) adalah sebagai berikut:
1.      Penghargaan kelompok, yang akan diberikan jika kelompok mencapai kriteria yang ditentukan.
2.      Tanggung jawab individual, bermakna bahwa suksesya kelompok terantung pada belajar individual semua anggota keompok. Tanggung jawab ini terfokus dalam usaha untuk membantu yang lain memastikan setiap anggota kelompok telah siap menghadapi evaluasi tanpa bantuan orang lain.
3.      Kesempatan yang sama untuk sukses, bermakna bahwa siswa telah membantu kelompok dengan cara meningkatkan hasil belajar mereka sendiri. Hal ini memastikan bahwa sisa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah sama-sama tertantang untuk melakukan yang terbaik dan bahwa kontribusi semua anggota kelompok sangat bernilai.

Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif
            Belajar kooperatif mempunyai beberapa kelebihan.
Kelebihan belajar kooperatif menurut Hill & Hill (1993:1-6) adalah:
1.      Meningkatkan prestasi siswa
2.      Memperdalam pemahaman siswa
3.      Menyenagkan siswa
4.      Mengembangkan sikap kepemimpinan
5.      Mengembangkan sikap positif siswa
6.      Mengembangkan sikap menghargai diri sendiri
7.      Membuat belajar secara inklusif
8.      Mengembangkan rasa memiliki, dan
9.      Mengembangkan keterampilan untuk masa depan.
Johnson & Johnson (1994:30) menyatakan bahwa belajar kooperatif sangat diperlukan karena dengan belajar kooperatif :
1.      Siswa dapat belajar lebih banyak
2.      Siswa lebih menyukai lingkungan persekolahan
3.      Siswa lebih menyukai satu sama lain
4.      Siswa mepunyai penghargaan yang lebih besar terhadap diri sendiri, dan
5.      Siswa belajar keterampilan sosial secara lebih efektif
Menurut Ibrahim, dkk (2000:16) belajar kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar daripadadengan belajar kompetitif dan individualistik. Lebih lanjut, Ibrahim dkk (2000:16-17) menyatakan bahwa belajar kooperatif dan hubungan yang lebih baik antarsiswa, dan dapat mengembangkan kemampuan akademis siswa. Siswa belajar lebih banyak dari teman mereka dalam belajar kooperatif dari pada dari guru. Ratumanan (2002:42) menyatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif dapat memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Menurut Kardi & Nur (2005:15) belajar kooperatif sangat efektif untuk memperbaiki hubungan antarsuku dan etnis dalam kelas multibudaya dan memperbaiki hubungan antarsiswa normal dan siswa penyandang cacat.
Johnson & Johnson(1994:44) menyatakan bahwa belajar kooperatif dapat digunakan dalam setiap jenjang pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai pergururan tinggi, dalam semua  bidang materi dan dalam sebarang tugas. Selain itu, Slavin  (1995:4) menyatakan bahwa belajar kooperatif  telah digunakan secara intensif pada setiap subjek pendidikan, dalam semua jenjang pendidikan dan pada semua jenis persekolahan di berbagai belahan dunia
Hal ini mendorong perlunya pelaksanaan belajar kooperatif dalam pembelajaran.  Pelaksanaan belajar kooperatif sangat diperlukan karena dengan belajar kooperatif dapat diperoleh : (1) siswa dapat belajar lebih banyak, (2) siswa lwbih mwnyukai lingkungan persekolahan, (3) siswa lebih menyukai satu sama lain, (4) siswa mempunyai penghargaan yang lebih besar terhadap diri sendiri, dan (5) siswa belajar ketrampilan social secara lebih efektif ( Johnson & Johnson,1994 : 30 )
Davidson (1991:53-61) memberikan sejumlah implikasi positif dalam pembelajaran dengan menggunakan strategi belajar kooperatif, yaitu sebagai berikut :
1.      Kelompok kecil member dukungan social untuk belajar
2.      Kelompok kecil menawarkan kesempatan sukses bagi semua siswa
3.      Masalah idealnya cocok untuk diskusi kelompok, sebab memiliki solusi yang dapat didemonstrasikan secara objektif.
4.      Siswa dalam kelompok dapat membantu siswa lain untuk menguasai masalah-masalah dasar dan prosedur perhitungan yang perlu dalam konteks permainan, teka-teki, atau pembahasan masalah yang brmanfaat.
5.      Ruang lingkup mata pelajaran dipenuhi oleh ide-ide menarik dan menantang yang menantang bila didiskusikan
6.      Memberi kesempatan untuk berfikir kreatif, menjelajahi situasi yang tidak terbatas, untuk melakukan konjektur dan mengujinya dengan data, unuk mengajukan masalah-masalah yang membangkitkan minat, dan untuk memecahkan maalah yang tidak rutin.

Selain mempunyai kelebihan, belajar kooperatif juga mempunyai beberapa kelemahan. Menurut Dees (1991:411) beberapa kelemahan belajar kooperatif adalah :
1.      Membutuhkan waktu yang lama bagi siswa sehingga sulit mencapai target kurikulum
2.      Membutuhkan waktu yang lama untuk guru sehingga kebanyakan guru tidak mau menggunakan strategi belajar kooperatif.
3.      Membtuhkan kemampuan khusus guru sehingga tidak semua guru bias melakukan atau menggunakan strategi belajar koperatif
4.      Menuntut sifat tertentu dari siswa, misalnya sifat suka bekerja sama

Meskipun belajar kooperatif memiliki kelemahan-kelemahan, namun masih dapat di atasi atau diminimalisir. Penggunaan waktu yang relative lama dapat diatasi dengan pemberian lembar kerja siswa (LKS) sehingga siswa dapat bekerja dengan efektif dan efisien, kelompok dibentuk sebelum pembelajaran dan penggunaan waktu diatur secara ketat untuk setiap pembelajaran.

Penerapan belajar kooperatif memang memerlukan ketrampilan khusus dari guru jadi tidak semua guru yang menerapkan belajar kooperatif. Meskipun demikian guru dapat dilatih untuk penerapan belajar kooperatif. Sedangkan untuk kelemahan yang terakhir dapat diatasi dengan sosiologis bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Oleh sebab itu siwa perlu bekerja sama dan berlatih bekerja sam dalam belajar secara kooperatif.

Perencanaan Pembelajaran Kooperatif

Perencanaan untuk pembelajaran koopertif ini melibatkan 5 tahapan yaitu:
1.      Menentukan tujuan khusus
Aktivitas dalam pembelajaran kooperatif didesain untuk mencapai tiga tujuan utama yaitu mengembangkan ketrampilan penemuan (inkuiri), mengembangkan ketrampilan bekerja sama, dan memperoleh pemahaman yang mendalam terhadap materi
2.      Merencanakan pengumpulan informasi
Pemecahan masalah dari inkuiri tidak terjadi dalamkekosongan informasi. Siswa memerlukan akses terhadap informasi yang dapat digunakan untuk mengarahkan usaha mereka. Pengumpulan informasi dapat berupa mengoleksi buku-buku teks atau bekerjasama dengan pihak perpustakaan untuk memastikan bahwa sumber-sumber  yang dibutuhkan tersedia
3.      Membentuk kelompok
Pembentukan kelompok disesuaikan dengan tipe dan jenis pembelajaran kooperatif. Langkah pertama untuk mencapai tujuan tersebut adalah membentuk kelompok dengan anggota yang beragam
4.      Mendesain aktivitas kelompok
Pembelajaran kooperatif membutuhkan tingkat kerjasama yang tinggi. Dalam kelompok, siswa harus bekerjasama dalm membuat keputusan mengenai peran mereka
5.      Merencanakan aktivitas kelompok secara keseluruhan
Aktivitas ini di desain agar siswa mengerti tujuan aktivitas dan bentuk hasil yang diharapkan.

          Belajar kooperatif mempunyai kelemahan yang disebut dengan efek “free rider”(Slavin,1995:19). Efek free rider dapat terjadi dalam belajar kooperatif dimana seorang siswa bekerja keras untuk menyelesaiakn tugas kelompok, sedangkan siswa yang lain sedang asyik melakukan aktivitas yang lain yang tidak ditugaskan. Efek free rider dapat diartikan sebagai tindakan membonceng oleh siswa terhadap kerja teman sekelompoknya. Untuk menghindari efek ini, di anjurkan dalam satu kelompok, masing-masing anggota kelompok mendapatkan tugas yang berbeda. Selain itu, pengawasan guru sangat diperlukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar